BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kemajuan
Ilmu pengetahuan dan teknologi dunia, yang kini dipimpin oleh peradaban Barat
satu abad terakhir ini, mencegangkan banyak orang di berbagai
penjuru dunia. Kesejahteraan dan kemakmuran material (fisikal) yang dihasilkan
oleh perkembangan Iptek modern tersebut membuat banyak orang lalu mengagumi dan
meniru-niru gaya hidup peradaban Barat tanpa dibarengi sikap kritis terhadap segala
dampak negatif dan krisis multidimensional yang diakibatkannya.
Peradaban Barat moderen dan postmodern saat ini memang
memperlihatkan kemajuan dan kebaikan kesejahteraan material yang seolah
menjanjikan kebahagian hidup bagi umat manusia. Namun karena kemajuan tersebut
tidak seimbang, pincang, lebih mementingkan kesejahteraan material bagi
sebagian individu dan sekelompok tertentu negara-negara maju (kelompok G-8)
saja dengan mengabaikan, bahkan menindas hak-hak dan merampas kekayaan alam
negara lain dan orang lain yang lebih lemah kekuatan iptek, ekonomi dan
militernya, maka kemajuan di Barat melahirkan penderitaan
kolonialisme-imperialisme (penjajahan) di Dunia Timur & Selatan.
Kenyataan
menyedihkan tersebut sudah selayaknya menjadi cambuk bagi kita bangsa Indonesia
yang mayoritas Muslim untuk gigih memperjuangkan kemandirian politik, ekonomi
dan moral bangsa dan umat. Kemandirian itu tidak bisa lain kecuali dengan
pembinaan mental-karakter dan moral (akhlak) bangsa-bangsa Islam sekaligus
menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi yang dilandasi keimanan-taqwa kepada
Allah SWT. Serta melawan pengaruh buruk budaya sampah dari Barat yang
Sekular, Matre dan hedonis (mempertuhankan kenikmatan hawa nafsu).
Akhlak
yang baik muncul dari keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT Sumber segala
Kebaikan, Keindahan dan Kemuliaan. Keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT
hanya akan muncul bila diawali dengan pemahaman ilmu pengetahuan dan pengenalan
terhadap Tuhan Allah SWT dan terhadap alam semesta sebagai tajaliyat (manifestasi)
sifat-sifat KeMahaMuliaan, Kekuasaan dan Keagungan-Nya.
Islam,
sebagai agama penyempurna dan paripurna bagi kemanusiaan, sangat mendorong dan
mementingkan umatnya untuk mempelajari, mengamati, memahami dan merenungkan
segala kejadian di alam semesta. Dengan kata lain Islam sangat mementingkan
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Berbeda
dengan pandangan dunia Barat yang melandasi pengembangan Ipteknya hanya untuk
kepentingan duniawi yang ’matre’ dan sekular, maka Islam mementingkan
pengembangan dan penguasaan Iptek untuk menjadi sarana ibadah-pengabdian Muslim
kepada Allah SWT dan mengembang amanat Khalifatullah (wakil/mandataris
Allah) di muka bumi untuk berkhidmat kepada kemanusiaan dan menyebarkan rahmat
bagi seluruh alam (Rahmatan lil ’Alamin). Ada lebih dari 800 ayat
dalam Al-Qur’an yang mementingkan proses perenungan, pemikiran dan pengamatan
terhadap berbagai gejala alam, untuk ditafakuri dan menjadi bahan dzikir
(ingat) kepada Allah. Yang paling terkenal adalah ayat:
“Sesungguhnya
dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang
terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang berakal, (yaitu)
orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan
berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya
berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau ciptakan ini dengan sia-sia. Maha
Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.” (QS Ali Imron [3] :
190-191)
“Allah
akan mengangkat derajat orang-orang yang beriman dan berilmu pengetahuan
beberapa derajat.” (QS. Mujadillah [58] : 11 )
Bagi
umat Islam, kedua-duanya adalah merupakan ayat-ayat (atau tanda-tanda/sinyal)
KeMahaKuasaan dan Keagungan Allah SWT. Ayat tanziliyah/naqliyah
(yang diturunkan atau transmited knowledge), seperti kitab-kitab suci
dan ajaran para Rasulullah (Taurat, Zabur, Injil dan Al Qur’an), maupun ayat-ayat
kauniyah (fenomena, prinsip-prinsip dan hukum alam), keduanya bila dibaca,
dipelajari, diamati dan direnungkan, melalui mata, telinga dan hati (qalbu +
akal) akan semakin mempertebal pengetahuan, pengenalan, keyakinan dan keimanan
kita kepada Allah SWT, Tuhan Yang Maha Kuasa, Wujud yang wajib, Sumber segala
sesuatu dan segala eksistensi). Jadi agama dan ilmu pengetahuan, dalam Islam
tidak terlepas satu sama lain. Agama dan ilmu pengetahuan adalah dua sisi koin
dari satu mata uang koin yang sama. Keduanya saling membutuhkan, saling
menjelaskan dan saling memperkuat secara sinergis, holistik dan integratif. Di sinilah, peran agama sebagai pedoman hidup
menjadi sangat
penting untuk ditengok kembali. Dapatkah agama memberi tuntunan agar kita
memperoleh dampak iptek yang positif saja, seraya mengeliminasi dampak
negatifnya semiminal mungkin? Sejauh manakah agama Islam dapat berperan dalam mengendalikan perkembangan teknologi modern? Tulisan ini bertujuan menjelaskan peran Islam dalam perkembangan dan pemanfaatan teknologi tersebut.
penting untuk ditengok kembali. Dapatkah agama memberi tuntunan agar kita
memperoleh dampak iptek yang positif saja, seraya mengeliminasi dampak
negatifnya semiminal mungkin? Sejauh manakah agama Islam dapat berperan dalam mengendalikan perkembangan teknologi modern? Tulisan ini bertujuan menjelaskan peran Islam dalam perkembangan dan pemanfaatan teknologi tersebut.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 IPTEK
dalam pandangan Islam
Ilmu pengetahuan. Paradigma inilah yang seharusnya
dimiliki umat Islam, bukan paradigma sekuler seperti yang ada sekarang.
Paradigma Islam ini menyatakan bahwa Aqidah Islam wajib dijadikan landasan
pemikiran (qa?idah fikriyah) bagi seluruh bangunan ilmu pengetahuan.
Ini bukan berarti menjadi Aqidah Islam sebagai
sumber segala macam ilmu pengetahuan, melainkan menjadi standar bagi segala
ilmu pengetahuan. Maka ilmu pengetahuan yang sesuai dengan Aqidah Islam dapat
diterima dan diamalkan, sedang yang bertentangan dengannya, wajib ditolak dan
tidak boleh diamalkan.
Kedua, menjadikan Syariah Islam (yang lahir dari
Aqidah Islam) sebagai standar bagi pemanfaatan iptek dalam kehidupan sehari-hari.
Standar atau kriteria inilah yang seharusnya yang digunakan umat Islam, bukan
standar manfaat (pragmatisme/utilitarianisme) seperti yang ada sekarang.
Standar syariah ini mengatur,bahwa boleh tidaknya pemanfaatan iptek, didasarkan
pada ketentuan halal-haram (hukum-hukum syariah Islam). Umat Islam boleh
memanfaatkan iptek, jika telah dihalalkan oleh Syariah Islam. Sebaliknya jika
suatu aspek iptek telah diharamkan oleh Syariah, maka tidak boleh umat
Islam memanfaatkannya, walau pun ia menghasilkan manfaat sesaat untuk memenuhi
kebutuhan manusia.
2.2 Paradigma hubungan agama Islam dengan IPTEK
Untuk memperjelas, akan disebutkan dulu beberapa
pengertian dasar. Ilmu pengetahuan (sains) adalah pengetahuan tentang gejala
alam yang diperoleh melalui proses yang disebut metode ilmiah (scientific
method) (Jujun S. Suriasumantri, 1992). Sedang teknologi adalah pengetahuan dan
ketrampilan yang merupakan penerapan ilmu pengetahuan dalam kehidupan manusia
sehari-hari (Jujun S. Suriasumantri,1986). Perkembangan iptek, adalah hasil
dari segala
langkah dan pemikiran untuk memperluas, memperdalam, dan mengembangkan iptek (Agus, 1999). Agama yang dimaksud di sini, adalah agama Islam, yaitu agama yang diturunkan Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW, untuk mengatur hubungan manusia dengan Penciptanya (dengan aqidah dan aturan ibadah), hubungan manusia dengan dirinya sendiri (dengan aturan akhlak, makanan, dan pakaian), dan hubungan manusia dengan manusia lainnya (denganaturan mu?amalah dan uqubat/sistem pidana) (An-Nabhani, 2001).
langkah dan pemikiran untuk memperluas, memperdalam, dan mengembangkan iptek (Agus, 1999). Agama yang dimaksud di sini, adalah agama Islam, yaitu agama yang diturunkan Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW, untuk mengatur hubungan manusia dengan Penciptanya (dengan aqidah dan aturan ibadah), hubungan manusia dengan dirinya sendiri (dengan aturan akhlak, makanan, dan pakaian), dan hubungan manusia dengan manusia lainnya (denganaturan mu?amalah dan uqubat/sistem pidana) (An-Nabhani, 2001).
Bagaimana hubungan agama dan iptek? Secara garis
besar, berdasarkan tinjauan ideologi yang mendasari hubungan keduanya, terdapat
3 (tiga) jenis paradigma (Lihat Yahya Farghal, 1990:99-119) :
Pertama, paradagima sekuler, yaitu paradigma yang
memandang agama dan iptek adalah terpisah satu sama lain. Sebab, dalam ideologi
sekularisme Barat, agama telah dipisahkan dari kehidupan (fashl al-din an al-hayah).
Agama tidak dinafikan eksistensinya, tapi hanya dibatasi perannya dalam
hubungan pribadi manusia dengan tuhannya. Agama tidak mengatur kehidupan
umum/publik. Paradigma ini memandang agama dan iptek tidak bisa mencampuri dan mengintervensi
yang lainnya. Agama dan iptek sama sekali terpisah baik secara ontologis
(berkaitan dengan pengertian atau hakikat sesuatu hal), epistemologis
(berkaitan dengan cara memperoleh pengetahuan), dan aksiologis (berkaitan
dengan cara menerapkan pengetahuan).
Kedua, paradigma sosialis, yaitu paradigma dari
ideologi sosialisme yang menafikan eksistensi agama sama sekali. Agama itu
tidak ada, dus, tidak ada hubungan dan kaitan apa pun dengan iptek. Iptek bisa
berjalan secara independen dan lepas secara total dari agama. Paradigma ini mirip
dengan paradigma sekuler di atas, tapi lebih ekstrem. Dalam paradigma sekuler,
agama berfungsi secara sekularistik, yaitu tidak dinafikan keberadaannya, tapi
hanya dibatasi perannya
dalam hubungan vertikal manusia-tuhan. Sedang dalam paradigma sosialis, agama dipandang secara ateistik, yaitu dianggap tidak ada (in-exist) dan dibuang sama sekali dari kehidupan.
dalam hubungan vertikal manusia-tuhan. Sedang dalam paradigma sosialis, agama dipandang secara ateistik, yaitu dianggap tidak ada (in-exist) dan dibuang sama sekali dari kehidupan.
Ketiga, paradigma Islam, yaitu paradigma yang memandang
bahwa agama adalah dasar dan pengatur kehidupan. Aqidah Islam menjadi basis
dari segala ilmu pengetahuan. Aqidah Islam yang terwujud dalam apa-apa yang ada
dalam Al-Qur`an dan Al-Hadits-- menjadi qaidah fikriyah (landasan pemikiran),
yaitu suatu asas yang di atasnya dibangun seluruh bangunan pemikiran dan ilmu
pengetahuan manusia (An-Nabhani, 2001).
Paradigma ini memerintahkan manusia untuk
membangun segala pemikirannya berdasarkan Aqidah Islam, bukan lepas dari aqidah
itu. Ini bisa kita pahami dari ayat yang pertama kali turun (artinya)
:Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan. (QS Al-Alaq [96] :1).
Ayat ini berarti manusia telah diperintahkan untuk
membaca guna memperoleh berbagai pemikiran dan pemahaman. Tetapi segala
pemikirannya itu tidak boleh lepas dari Aqidah Islam, karena iqra` haruslah
dengan bismi rabbika, yaitu tetap berdasarkan iman kepada Allah, yang merupakan
asas Aqidah Islam (Al-Qashash, 1995:81).
Paradigma Islam ini menyatakan bahwa, kata putus
dalam ilmu pengetahuan bukan berada pada pengetahuan atau filsafat manusia yang
sempit, melainkan berada pada ilmu Allah yang mencakup dan meliputi segala
sesuatu (Yahya Farghal, 1994:117). Firman Allah SWT (artinya) : Dan
adalah (pengetahuan) Allah Maha Meliputi segala sesuatu. (QS An-Nisaa` [4]:126). Dan sesungguhnya Allah, ilmu-Nya benar-benar meliputi segala
sesuatu.(QSAth-Thalaq[65]:12).
Itulah paradigma yang dibawa Rasulullah SAW (w.
632 M) yang meletakkan Aqidah Islam yang berasas Laa ilaaha illallah Muhammad
Rasulullah sebagai asas ilmu pengetahuan. Beliau mengajak memeluk Aqidah Islam
lebih dulu, lalu setelah itu menjadikan aqidah tersebut sebagai pondasi dan
standar bagi berbagai pengetahun. Ini dapat ditunjukkan misalnya dari suatu
peristiwa ketika di masa Rasulullah SAW terjadi gerhana matahari, yang
bertepatan dengan wafatnya putra beliau (Ibrahim). Orang-orang
berkata.Gerhana matahari ini terjadi karena meninggalnya Ibrahim. Maka
Rasulullah SAW segera menjelaskan:
Sesungguhnya gerhana matahari
dan bulan tidak terjadi karena kematian atau kelahiran seseorang, akan tetapi
keduanya termasuk tanda-tanda kekuasaan Allah. Dengannya Allah memperingatkan
hamba-hamba-Nya (HR. Al-Bukhari dan An-Nasa`i)(Al-Baghdadi,1996:10)
Dengan jelas kita tahu bahwa Rasulullah SAW telah
meletakkan Aqidah Islam sebagai dasar ilmu pengetahuan, sebab beliau
menjelaskan, bahwa fenomena alam adalah tanda keberadaan dan kekuasaan
Allah, tidak ada hubungannya dengan nasib seseorang. Hal ini sesuai dengan
aqidah muslim yang tertera dalam Al-Qur`an (artinya) :Sesungguhnya dalam
penciptaan langit dan bumi dan silih bergantinya malam dan siang terdapat
tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang berakal.(QS.Ali Imran [3] :190)
Inilah paradigma Islam yang menjadikan Aqidah Islam sebagai dasar segala
pengetahuan seorang muslim. Paradigma inilah yang telah
mencetak muslim-muslim yang taat dan shaleh tapi sekaligus cerdas dalam iptek.
Itulah hasil dan prestasi cemerlang dari paradigma Islam ini yang dapat dilihat
pada masa kejayaan iptek Dunia Islam antara tahun 700-1400 M. Pada masa inilah dikenal
nama Jabir bin Hayyan (w. 721) sebagai ahli kimia termasyhur, Al-Khawarzmi (w.
780) sebagai ahli matematika dan astronomi, Al-Battani (w. 858) sebagai ahli
astronomi dan matematika, Al-Razi (w. 884) sebagai pakar kedokteran, ophtalmologi,
dan kimia, Tsabit bin Qurrah (w. 908) sebagai ahli kedokteran dan teknik, dan
masih banyak lagi (Tentang kejayaan
iptek Dunia Islam lihat misalnya M.
Natsir Arsyad, 1992; Hossein Bahreisj, 1995; Ahmed dkk, 1999; Eugene A. Myers
2003; A. Zahoor, 2003; Gunadi dan Shoelhi, 2003).
2.3 Aqidah Islam Sebagai Dasar Iptek
2.3 Aqidah Islam Sebagai Dasar Iptek
Inilah peran pertama yang dimainkan Islam dalam
iptek, yaitu aqidah Islam harus dijadikan basis segala konsep dan aplikasi iptek.
Inilah paradigma Islam sebagaimana yang telah dibawa oleh Rasulullah SAW.
Paradigma Islam inilah yang seharusnya diadopsi
oleh kaum muslimin saat ini. Bukan paradigma sekuler seperti yang ada sekarang.
Diakui atau tidak, kini umat Islam telah telah terjerumus dalam sikap membebek
dan mengekor Barat dalam segala-galanya; dalam pandangan hidup, gaya hidup,
termasuk dalam konsep ilmu pengetahuan. Bercokolnya paradigma sekuler inilah
yang bisa menjelaskan, mengapa di dalam sistem pendidikan yang diikuti orang
Islam, diajarkan sistem ekonomi kapitalis yang pragmatis serta tidak kenal
halal haram. Eksistensi paradigma sekuler itu menjelaskan pula mengapa tetap
diajarkan konsep pengetahuan yang bertentangan dengan keyakinan dan keimanan
muslim.Misalnya Teori Darwin yang dusta dan sekaligus bertolak belakang dengan
Aqidah Islam.
Kekeliruan paradigmatis ini harus dikoreksi. Ini
tentu perlu perubahan fundamental dan perombakan total. Dengan cara mengganti
paradigma sekuler yang ada saat ini, dengan paradigma Islam yang
memandang bahwa Aqidah Islam (bukan paham sekularisme) yang seharusnya dijadikan
basis bagi bangunan ilmu pengetahuan manusia.
Namun di sini perlu dipahami dengan seksama, bahwa
ketika Aqidah Islam dijadikan landasan iptek, bukan berarti konsep-konsep iptek
harus bersumber dari Al-Qur`an dan Al-Hadits, tapi maksudnya adalah konsep
iptek harus distandardisasi benar salahnya dengan tolok ukur Al-Qur`an dan
Al-Hadits dan tidak boleh bertentangan dengan keduanya (Al-Baghdadi, 1996:12).
Jika kita menjadikan Aqidah Islam sebagai landasan
iptek, bukan berarti bahwa ilmu astronomi, geologi, agronomi, dan seterusnya,
harus didasarkan pada ayat tertentu, atau hadis tertentu. Kalau pun ada ayat
atau hadis yang cocok dengan fakta sains, itu adalah bukti keluasan ilmu Allah
yang meliputi segala sesuatu (lihat QS An-Nisaa` [4] :126 dan QS Ath-Thalaq
[65] :12), bukan berarti konsep iptek harus bersumber pada ayat atau hadis
tertentu. Misalnya saja dalam astronomi ada ayat yang menjelaskan bahwa
matahari sebagai pancaran cahaya dan panas (QS Nuh [71] : 16), bahwa langit (bahan
alam semesta) berasal dari asap (gas) sedangkan galaksi-galaksi tercipta
dari kondensasi (pemekatan) gas tersebut (QS Fushshilat [41] : 11-12), dan seterusnya.
Ada sekitar 750 ayat dalam Al-Qur`an yang semacam ini (Lihat Al-Baghdadi,
2005:113). Ayat-ayat ini menunjukkan betapa luasnya ilmu Allah sehingga
meliputi segala sesuatu, dan menjadi tolok ukur kesimpulan iptek, bukan berarti
bahwa konsep iptek wajib didasarkan pada ayat-ayat tertentu.
Jadi, yang dimaksud menjadikan Aqidah Islam
sebagai landasan iptek bukanlah bahwa konsep iptek wajib bersumber kepada
Al-Qur`an dan Al-Hadits, tapi yang dimaksud, bahwa iptek wajib berstandar pada
Al-Qur`an dan Al-Hadits. Ringkasnya, Al-Qur`an dan Al-Hadits adalah standar
(miqyas) iptek, dan bukannya sumber (mashdar) iptek. Artinya, apa pun konsep
iptek yang dikembangkan, harus sesuai dengan Al-Qur`an dan Al-Hadits, dan tidak
boleh bertentangan dengan Al-Qur`an dan Al-Hadits itu. Jika suatu konsep iptek
bertentangan dengan Al-Qur`an dan Al-Hadits, maka konsep itu berarti harus
ditolak. Misalnya saja Teori Darwin yang menyatakan bahwa manusia adalah hasil
evolusi dari organisme sederhana yang selama jutaan tahun berevolusi melalui
seleksi alam menjadi organisme yang lebih kompleks hingga menjadi manusia
modern sekarang. Berarti, manusia sekarang bukan keturunan manusia pertama,
Nabi Adam AS, tapi hasil dari evolusi organisme sederhana. Ini bertentangan
dengan firman Allah SWT yangmenegaskan, Adam AS adalah manusia pertama, dan
bahwa seluruh manusia sekarang adalah keturunan Adam AS itu, bukan keturunan
makhluk lainnya sebagaimana fantasi Teori Darwin (Zallum, 2001). Firman Allah
SWT (artinya) :
(Dialah Tuhan) yang memulai penciptaan manusia
dari tanah, kemudian Dia menciptakan keturunannya dari sari pati air yang hina (mani).
(QS As-Sajdah [32]:7) Hai manusia,
sesungguhnya Kami menciptakan kamu
dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu
berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. (QS Al-Hujuraat
[49] : 13)
Implikasi lain dari prinsip ini, yaitu Al-Qur`an
dan Al-Hadits hanyalah standar iptek, dan bukan sumber iptek, adalah bahwa umat
Islam boleh mengambi iptek dari sumber kaum non muslim (orang kafir). Dulu Nabi
SAW menerapkan penggalian parit di sekeliling Madinah, padahal strategi militer
itu berasal dari tradisi kaum Persia yang beragama Majusi. Dulu Nabi SAW juga pernah
memerintahkan dua sahabatnya memepelajari teknik persenjataan ke Yaman, padahal
di Yaman dulu penduduknya adalah Ahli Kitab (Kristen). Umar bin Khatab pernah
mengambil sistem administrasi dan pendataan Baitul Mal (Kas Negara), yang
berasal dari Romawi yang beragama Kristen. Jadi, selama tidak bertentangan
dengan aqidah dan syariah Islam, iptek dapat diadopsi dari
kaum kafir.
2.4 Syariah Islam Standar Pemanfaatan Iptek
Peran kedua Islam dalam perkembangan iptek, adalah bahwa Syariah Islam harus dijadikan standar pemanfaatan iptek. Ketentuan halal-haram (hukum-hukum syariah Islam) wajib dijadikan tolok ukur dalam pemanfaatan iptek, bagaimana pun juga bentuknya. Iptek yang boleh dimanfaatkan, adalah yang telah dihalalkan oleh syariah Islam. Sedangkan iptek yang tidak boleh dimanfaatkan, adalah yang telah diharamkan syariah Islam.
Keharusan tolok ukur syariah ini didasarkan pada
banyak ayat dan juga hadits yang mewajibkan umat Islam menyesuaikan
perbuatannya (termasuk menggunakan iptek) dengan ketentuan hukum Allah dan
Rasul-Nya. Antara lain firman Allah (artinya) :Maka demi Tuhanmu,
mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu (Muhammad)
sebagai hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan.(QS An-Nisaa` [4] : 65)
Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya. (QS Al-A?raaf [7] : 3) Sabda Rasulullah SAW :
Barangsiapa yang melakukan perbuatan yang tidak ada perintah kami atasnya, maka perbuatan itu tertolak. (HR Muslim).
Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya. (QS Al-A?raaf [7] : 3) Sabda Rasulullah SAW :
Barangsiapa yang melakukan perbuatan yang tidak ada perintah kami atasnya, maka perbuatan itu tertolak. (HR Muslim).
Kontras dengan ini, adalah apa yang ada di Barat
sekarang dan juga negeri-negeri muslim yang bertaqlid dan mengikuti Barat
secara membabi buta. Standar pemanfaatan iptek menurut mereka
adalah manfaat, apakah itu dinamakan pragmatisme atau pun utilitarianisme. Selama
sesuatu itu bermanfaat, yakni dapat memuaskan kebutuhan manusia, maka ia
dianggap benar dan absah untuk dilaksanakan. Meskipun itu diharamkan dalam
ajaran agama.
Keberadaan standar manfaat itulah yang dapat
menjelaskan, mengapa orang Barat mengaplikasikan iptek secara tidak bermoral,
tidak berperikemanusiaan, dan bertentangan dengan nilai agama. Misalnya
menggunakan bom atom untuk membunuh ratusan ribu manusia tak berdosa,
memanfaatkan bayi tabung tanpa melihat moralitas (misalnya meletakkan embrio
pada ibu pengganti), mengkloning manusia (berarti manusia bereproduksi secara
a-seksual, bukan seksual), mengekploitasi alam secara serakah walaupun
menimbulkan pencemaran yang berbahaya, dan seterusnya.
Karena itu, sudah saatnya standar manfaat yang
salah itu dikoreksi dan diganti dengan standar yang benar. Yaitu standar yang
bersumber dari pemilik segala ilmu yang ilmu-Nya meliputi segala sesuatu, yang
amat mengetahui mana yang secara hakiki bermanfaat bagi manusia, dan mana yang secara
hakiki berbahaya bagi manusia. Standar itu adalah segala perintah dan larangan
Allah SWT yang bentuknya secara praktis dan konkret adalah syariah
Islam.
Islam.
BAB III
PENUTUP
Dari uraian di atas dapat dipahami, bahwa peran
Islam yang utama dalam perkembangan iptek setidaknya ada 2 (dua). Pertama,
menjadikan Aqidah Islam sebagai paradigma pemikiran dan ilmu pengetahuan. Jadi,
paradigma Islam, dan bukannya paradigma sekuler, yang seharusnya diambil
oleh umat Islam dalam membangun struktur ilmu pengetahuan. Kedua, menjadikan syariah
Islam sebagai standar penggunaan iptek. Jadi, syariah Islam-lah, bukannya
standar manfaat (utilitarianisme), yang seharusnya dijadikan tolok ukur umat
Islam dalam mengaplikasikan iptek.
Jika dua peran ini dapat dimainkan oleh umat Islam
dengan baik, insyaallah akan ada berbagai berkah dari Allah kepada umat Islam dan
juga seluruh umat manusia. Mari kita simak firman-Nya (artinya) :Kalau
sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan
melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan
(ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya. (QS
Al-A’raaf [7] : 96).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar